karebata.com
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, mengungkapkan keprihatinan terkait pendapatan para driver ojek online (ojol) yang hanya mencapai antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu setiap harinya. Komentar tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan pada protes oleh supir ojol di berbagai wilayah yang menuntut agar biaya layanan dalam aplikasi tidak melebihi 10%.
“Pengendara ojek online, taksi daring, serta karyawan jasa pengiriman barang tidak hanya menghadapi cuaca terik dan hujan, namun mereka juga bertempur menentang sistem digital yang mencabut hak fundamental mereka sebagaimana layaknya pekerja,” ungkap Nurhadi saat diwawancara pada hari Rabu (21/5).
Nurhadi mengkritik pernyataan Ketua SPAI, Lily Pujiati, yang mencatat bahwa pendapatan harian para pengemudi ojek online saat ini hanya berkisar antara Rp 50.000 sampai dengan Rp 100.000 saja. Ini jelas berada di bawah standar gaji minimum provinsi atau kabupaten setempat ketika dipotong oleh beban operasional seperti harga bahan bakar, pemeliharaan sepeda motor, serta angsuran. Di sisi lain, pihak penyedia layanan merogoh keuntungan hingga 70% dari total tarif yang dikenakan kepada konsumen.
Pada sebuah insiden, supir cuma dapetRp 5.200 dari biaya total sebesar Rp 18.000 buat antar pesanan makanan, ini melebihi batasan pemotongan tertinggi yaitu 20% seperti yang ditentukan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022.
Menurut Nurhadi, perbedaan antara usaha keras yang dilakukan oleh para sopir ojek online di lapangan dengan pendapatan mereka mencerminkan ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian digital Indonesia.
Dengan posisi sebagai ‘mitra’, perusahaan platform sukses melewatkan tanggung jawab untuk memberikan upah tetap, fasilitas kesehatan, asuransi hari tua, liburan, serta proteksi dalam bidang pekerjaan. Hal ini merupakan wujud eksploitasi modern yang diselimuti oleh kemajuan teknologi,” ungkap Nurhadi.
Sebenarnya, Mahkamah Agung (MA) melalui sejumlah keputusan yang dibuatnya sudah menunjukkan bahwa relasi kerja masih dapat diterima walaupun berada dalam bentuk kemitraan selama terdapat elemen gaji, tugas, serta instruksi.
“Sayangnya, tanpa regulasi yang kuat, posisi tawar para pengemudi tetap rapuh,” tegas Nurhadi.
Oleh karena itu, Nurhadi menggarisbawahi bahwa DPR memiliki kewajiban konstitusional dalam merespons masalah hukum dan sosial yang diakibatkan oleh perubahan digital ini.
“Apakah manfaat dari Omnibus Law Cipta Kerja yang diklaim mendukung investasi, ketika ribuan pekerja digital belum memiliki jaminan penghasilan, apalagi proteksi?” tanyanya.
Nurhadi, yang bekerja di Komisi Ketenagakerjaan DPR, menyatakan perlunya adanya regulasi baru dalam bentuk UU Perlindungan Pejabat Digital guna menetapkan standar pekerjaan yang lebih baik dengan jelas.
Regulasi ini juga dapat mengatur soal transparansi algoritma platform, pembatasan komisi yang wajar, kewajiban jaminan sosial bagi pengemudi, hingga mendorong evaluasi terhadap kemitraan eksploitatif.
“Bisakah status ‘mitra’ ini diartikan sebagai hubungan bisnis yang murni ataukah itu merupakan cara perusahaan untuk mengelakkan kewajiibannya? Hal ini seharusnya ditinjau ulang oleh pihak berwenang,” tegasnya.