ADHD dan FOMO: Ketika Dunia Terus Berlari, Saya Belajar untuk Berhenti

AA1FaePJ

“ADHD dan FOMO: Saat Dunia Berlari, Aku Belajar Berhenti”

Aku tumbuh dengan rasa cemas yang tak pernah bisa aku beri nama sebuah dorongan aneh untuk selalu melakukan sesuatu, diikuti ketakutan karena merasa tertinggal dari semua orang. Bukan karena aku tak punya mimpi, tapi karena mimpi-mimpi itu seringkali datang bersamaan, berebut perhatian di kepalaku yang tak pernah benar-benar tenang. Selamat datang di hidupku seorang dewasa dengan ADHD yang juga bergulat dengan FOMO (Fear of Missing Out).

Sejak kecil, aku sadar bahwa aku berpikir dan bergerak berbeda. Aku bukan anak yang mudah duduk tenang, apalagi menyelesaikan tugas dengan rapi. Tapi ironisnya, aku juga bukan anak yang “bodoh” seperti yang dulu sempat dicap. Justru aku penuh ide, penuh semangat, penuh keinginan untuk menciptakan sesuatu. Tapi sayangnya, ide dan semangat itu sering tak punya arah. Fokus adalah hal mewah yang tak pernah aku miliki sepenuhnya.

Sebagai orang dengan ADHD, aku sering berada dalam dua kutub yang ekstrem: sangat bersemangat atau sangat lelah. Seringkali, aku merasa tertinggal. Aku melihat teman-teman membangun karier, menjalin hubungan yang sehat, punya rumah dan keluarga. Sementara aku? Aku sibuk berpindah dari satu proyek ke proyek lain, dari satu mimpi ke mimpi berikutnya dan di sela-selanya, bertanya-tanya apakah aku sedang hidup, atau hanya berusaha terlihat hidup.

Pada jurnal Psychiatry Research, Dr. Russell Barkley, seorang ahli ADHD ternama, menyebutkan bahwa orang dengan ADHD cenderung mengalami kurangnya fungsi eksekutif, yakni keterampilan untuk mengorganisir, merancang strategi, serta mengendalikan tindakan mereka sendiri. Hal ini bisa membuat proses pengambilan keputusan dan mencapai sasaran jangka panjang semakin sulit. Di tengah lingkungan yang dipenuhi oleh gangguan seperti media sosial dan ekspektasi sukses yang sama rata-rata, otak individu dengan ADHD dapat sangat sensitif terhadap perasaan takut akan Kehilangan Sesuatu Besar (FOMO). Selalu saja kita merasa ada hal-hal hebat lain yang terjadi tanpa melibatkan diri kita.

Studi dari Journal of Attention Disorders mengindikasikan bahwa individu dewasa dengan ADHD memiliki level impulsivitas yang lebih tinggi serta kecendrungan untuk lebih sering khawatir tentang tujuan atau pencapaian yang masih tertunda daripada hal-hal yang telah diraih. Ini semakin mengeraskan rasa FOMO—merasa bahwa kehidupan orang lain tampak jauh lebih “sukses”, “teratur”, dan “bermakna”.

Tapi… aku belajar, perlahan.

Saya sadar bahwa kehidupan bukanlah soal berlari seirama dengan orang lain, melainkan menciptakan tempo unik kita masing-masing. Saya tidak perlu mengumpulkan barang-barang seperti orang lain lakukan agar bisa merasa puas. Lebih dari itu, saya juga tidak wajib menjalani ekspektasi pihak lain hanya supaya terlihat sukses.

Saya mempelajari tiga poin mudah yang membantu saya bersikap tenang:.

Hentikan perbandingan antara cerita hidupmu dengan kisah oranglain.

Sosmed menjadi tempat untuk menampilkan sorotan. Seringkali kita mengabaikan kenyataan bahwa dibalik setiap gambar dengan senyum tersebut terdapat tantangan yang tidak kelihatan. Sebagaimana Brennan Brow menjelaskan, “Perbandingan mencuri kebahagiaan.” Penting bagi kita menyadarai bahwa laju kehidupan sebenarnya bukan suatu perlombaan.

Dr. Edward Hallowell, sang pengarang dari buku Driven to Distraction, mengatakan bahwa orang-orang dengan ADHD cenderung mempunyai keahlian kreatif yang menakjubkan tetapi mereka harus mendapatkan tempat serta waktu agar bisa berkembang secara individual. Bukanlah suatu masalah jika seseorang tidak ikuti jejak yang sudah ditetapkan sebelumnya. Yang terpenting adalah merayakan pencapaian, bukan mencari sempurna.

Sepetutnya punya dampak meski kecil dari setiap usaha yang kita lakukan hari ini, itu adalah kemajuan. Tiap kali saya berhasil mengerjakan sebuah tugasan, atau hanya cukup istirahat dengan baik pada malam ini, saya mulai menghargainya dan berpikiran,”Saya bangga atas diri Anda.”

Mungkin kehidupanku tak tersusun dengan rapi. Namun, ia kaya akan arti dan nilai. Bukan sebab ku selalu mengerti jalannya, melainkan karena kukerluaskan langkah meskipun ada kalanya merasa letih serta pengin berhenti.

ADHD tidak berarti saya kurang mampu. Saya hanya menemukan jalanku sendiri menuju tujuan tersebut, dengan tempo dan nuansa yang unik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *